Senin, 13 Maret 2017


 TENGETÈ UYAK NGET-NGET


                                                                               Dokumentasi pribadi
 Kondisi salah satu lontar milik masyarakat yang tidak pernah dibaca

            Peninggalan masa lampau atau warisan dari leluhur akan sangat beranfaat ketika yang diwariskan menghargai dan tetap melestarikan, apalagi bisa mempelajari dan dimanfaatkan demi kepentingan masyarakat banyak. peninggalan sejarah sangat banyak sekali diantaranya berupa : patung, alat-alat penunjang kehidupan sehari-hari, pustaka dan pusaka-pusaka. suatu peninggalan akan dapat diketahui apakah itu masih berguna atau tidak ketika ada yang mempelajarinya. Banyak peninggalan-peninggalan kuno tersebut rusak karena termakan jaman dan tidak dirawat dengan baik oleh masyarakat yang mewarisinya, contohnya adalah warisan yang berupa naskah dalam lontar yang sering disebut cakepan, cakepan yang dimiliki masyarakat terbelenggu oleh istilah aywa wera, sehingga banyak lontar-lontar tersebut rusak ketika akan dibaca. Kerusakan yang yang dimaksud adalah patah, termakan oleh binatang perusak lontar, dan rusak karena tempatnya basah atau lembab. Ketika lontar telah rusak maka dapat dipastikan isinya sudah tidak bisa di ketahui secara utuh meskipun ada beberapa lembar yang masih bisa dibaca. 
                                                                            Dokumentasi pribadi
Proses pembacaan dan identifikasi lontar milik masyarakat
             Dokrin aywa wera di masyarakat sangat melekat sekali, sehingga banyak lontar yang tidak boleh di buka dengan adanya permasalahan tersebut cukup menyulitkan untuk mengajak masyarakat untuk membaca kembali lontarnya. Untuk mengubah paradigma tersebut maka diperlukannya komunikasi dan sosialisasi komperenship agar masyarakat terbuka dan tidak lagi terdokrin bahwa kalau membaca lontar nanti bisa gila. Secara logika orang tua leluhur kita sudah sangat bijak sekali dalam mempelajari ilmu pengetahuan. Kenapa ada isitilah “aywa wera” artinya apabila seseorang belum dirasa cukup umur dan tidak ada pendamping, jangan sesekali menjalankan pengetahuan yang ada tertulis di lontar tersebut agar tidak disalah gunakan, dan jika ada pembimbing apa bila mengalami kebingungan maka lebih mudah untuk bertanya jadi tidak stres sendiri, jika tidak ketika mengalami masalah dan kebingungan tidak terpecahkan lama-kelamaan akan stress sehingga terus menerus maka bisa menyebabkan gila, maka dari itu diperlukan juga pendamping atau guru. Leluhur kita dahulu adalah percaya semua yang ada di dunia ini memiliki kekuatan maka dari itu lontar yang berisikan pengetahuan tersebut diupacarai dan disakralkan sehingga agar kita menghargai maka tidak boleh sembarangan dalam membuka, membaca, dan menaruh yang dikenal istilah “aywa wera” bukan berarti tidak boleh dibaca. Jika tidak dibaca maka lama-kelamaan lontar akan rusak dimakan binatang perusak serta karena umur. Maka dari itu untuk merubah paradigma yang keliru perlu adanya sosialisasi agar masyarakat mau terbuka dan belajar membaca kembali warisan-warisan tersebut sehingga pesan yang tertuang dalam lontar tersebut bisa terus terwarisi, secara tidak langsung akan membangkitkan kembali minat masyarakat untuk belajar membaca aksara Bali. Dengan adanya seperti itu maka muncul istilah “tenget amah nget-nget”  karena sakeng disakralkan pustaka lontar yang dimiliki sehingga tidak pernah dibaca akhirnya termakan ngengat (binatang kecil pemakan daun lontar). Maka perlu istilah tersebut diganti dengan “tenget kewala inget" sakral tetapi ingat.